4.6.13

Kenapa Katanya Alumni ITB Sombong?

01.53 Posted by Unknown No comments


Di lingkungan profesional, terdapat paradigma yang mengatakan bahwa tiap universitas memiliki karakteristik lulusan tersendiri. Alumni ITB memang banyak dikenal memiliki sifat yang kaku, sombong, dan sulit bergaul. Berikut adalah tulisan yang saya ambil dari http://thriea.blogspot.com/2012/01/kata-mereka-tentang-itb.html?m=1 yang saat ini sedang heboh dibicarakan di dunia maya. Tulisan tersebut dibuat oleh seorang headhunter bernama Satrio Madigondo yang pekerjaannya adalah menyeleksi dan mewawancarai calon pegawai diperusahaan miliknya. Saya coba tampilkan tulisannya buat yang malas membuka link di atas, seperti ini tulisan beliau :

“Disclaimer:
Tulisan ini merupakan hasil observasi sebagai Rekruiter selama 4 tahun terakhir. Mohon jangan digeneralisasi. Kalau ada yang tersinggung, mohon maaf ya!

Adalah sebuah rahasia umum di mana terdapat berbagai tipe pekerja berdasarkan tempat belajarnya. Anak UGM dikenal lugu, tidak neko-neko, dan rendah hati. Anak UI dikenal fleksibel dan cepat belajar. Anak ITB dikenal sebagai ‘pemikir makro’, besar omong, dan kaku luar biasa. Apakah stereotipe ini benar adanya? Saya tidak berani mengamini dengan sepenuh hati karena belum melakukan penelitian secara ilmiah. Dari pengamatan yang saya lakukan selama rentang 4 tahun belakangan (dalam kapasitas sebagai head-hunter, pastinya), beberapa karakteristik dapat saya verifikasi. Anak UGM memang terbukti lugu, tidak ambisius; anak UI dengan fleksibilitasnya, dan anak ITB dengan kekakuan dan kesombongannya. Hal terakhir ini yang ingin saya angkat. Kenapa? Karena karakteristik ini sangat menonjol dan sangat mengganggu proses rekrutmen.

Tidak hanya ITB junior, tapi para senior ITB juga terjangkit virus kaku dan sombong ini. Kekakuan yang mereka tunjukkan dapat saya maklumi karena mereka adalah orang-orang teknik. Secara ilmiah, sudah pernah dibuktikan bahwa ilmu-ilmu eksak, terutama teknik memang membentuk pribadi yang kaku. Selanjutnya, virus sombong. Pernah dengar cerita Narcissus? Saya yakin pernah. Dan inilah penyakit akut yang menjangkiti (hampir) seluruh anak ITB.

Hampir semua anak ITB yang saya temui memiliki gejala self-oriented yang begitu tinggi. Bukan sekali atau dua kali saya menemui anak ITB yang berbicara tentang prestasi dan mimpi mereka. Mimpi atau cita-cita biasanya diskalakan dalam ukuran makro: “Proyek….Nasional,” “Se-Indonesia.” adalah kata-kata yang sering saya dengar. Diucapkan dengan mimik muka luar biasa yakin dan nada tinggi. Ketika bicara soal jejaring, mereka selalu mau menjadi “yang kenal dengan…” (Biasanya orang-orang terkenal, minimal menteri). Mereka juga bukan anggota tim yang baik karena selalu mau menang sendiri. Hal ini biasanya terjadi dalam lingkungan kerja non-ITB. Yang terakhir, mereka adalah pemuja diri sendiri.

Appraisal bagaimana yang mereka lakukan? Begini kira-kira contohnya:
Jumat lalu saya menemui seorang kandidat, lulusan ITB. Ketika saya tanya soal prestasinya dia berulang kali menekankan hal-hal berikut:
(1) Pencapaian nilai kimia yang sempurna (100) di mana hanya terjadi 5 tahun sekali, orang satu2nya di antara 1,400 mahasiswa lain (diulang 3 kali)
(2) Pemimpin yang sangat baik, excellent! (diulang minimal 3 kali)
(3) Sangat bisa segalanya.
(4) Semua orang kenal saya.
(5) Ada lowongan regional manager Asia tapi tidak diambil dan kalaupun dia yang maju, sekitar 98% kemungkinan dia pasti jadi (diulang 2 kali)

Dan hal-hal tersebut diceritakan berulang-ulang, dengan berulang kali penghentian kalimat pada bagian2 tertentu. Hal ini untuk memberi efek penekanan dan pujian (Serius, dia mengharapkan itu). Perilaku yang ia tunjukkan selama wawancara adalah “You listen to me, and answer my questions. dedicate your time for me. You need me.” Ketika saya bertanya apakah dia ada pertanyaan mengenai proses maupun klien saya, dia hanya mengajukan beberapa pertanyaan. Lucunya, ketika saya menutup wawancara dengan dalih ada urusan lain, dia malah bilang “Oh pantesan ibu buru-buru. Jadi kapan saya bisa tanya2 ibu lagi?” (Lhoh??) Setelah itu dia masih berusaha nyerocos menceritakan kehebatannya di konteks pekerjaan.

Baiklah, saya tidak ada masalah dengan kandidat yang menceritakan prestasi kerja. Saya malah senang. Soalnya orang Indonesia cenderung menggunakan “Kami” dan malu-malu jika saya minta cerita soal prestasi kerja. Tapi ketika hal tersebut diceritakan dengan terlalu bersemangat, dengan nada sombong dan penuh keyakinan, hal tersebut jadi memuakkan. Kandidat lain yang juga adalah alumni ITB dengan kepercayaan diri luar biasa menjual gelar S2 yang ia dapatkan di Jerman untuk meminta gaji tinggi. Tidak tanggung-tanggung, cukup EUR 5,000. Iya, EURO, bukan Dollar. Per tahun? Tidak, per bulan. Katanya, standar gaji S2 di Jerman segitu. Oh, Tuan Pintar, sebaiknya kamu ke Jerman aja, jangan di sini.

Teman saya yang lulusan ITB lain lagi, nggak mau kerja. Mau wirausaha. Sayangnya, karena tidak memiliki pengalaman, ia berulang kali gagal. Ia tidak mau belajar dari pengusaha yang sudah maju, memilih produk2 jualan yang kurang komersil, dan tidak memiliki jejaring yang mendukung. Pikirannya sempit, tidak tahu medan yang ia masuki tapi sombongnya luar biasa. Hmmm.Ini adalah hal lain yang masuk virus Narsisus, menghargai diri begitu tinggi sampai tidak memperhatikan standar yang ada. Tidak hanya soal gaji, soal kerjaan pun mereka sangat pemilih. Hanya mau perusahaan A, B, atau C. Kalau tidak, mau kerja sendiri karena mereka terlalu ‘bagus’, over-standard untuk bekerja dalam sebuah organisasi.

Pertanyaan saya:
Ada apa sebenarnya dengan para alumni ini? Apa sebenarnya yang diajarkan di ITB? Kenapa para lulusannya memiliki kesombongan terprogram – yang secara kolektif terjadi?. Kalau yang saya dengar, ini berasalah dari ‘cuci otak’ pada masa plonco. Sumber lain mengatakan ini juga berasal dari persaingan internal ITB yang tidak sehat. Semacam seleksi alam, di mana sang pemenang akan menjadi sangat berkuasa. Sifat inipun kemudian terbawa ke kehidupan kerja. Tapi ini baru asumsi dan opini sekelumit orang, saya tidak berani mengatakan hal tersebut memang terbukti.

Jika ada yang membaca ini dan termasuk alumni ITB yang menyangkal, ya nggak papa juga. Kan di awal sudah dikatakan bahwa ini adalah hasil observasi saya selama bekerja sebagai Head Hunter. Saya cuma mau berpesan: Janganlah jadi Narsisus. Kami sudah tahu anda hebat, tetapi tidak perlu membesar-besarkan kehebatan anda. Kami tahu persis anda pintar, dan mungkin terpintar se-Indonesia. biarkan prestasi anda yang bicara. Kalau tidak bisa se-Indonesia, jadi paling pintar se-Bandung saja masih oke kok. Jangan biarkan imej yang melekat di ITB adalah Produser Narsisus. Sudah cukup banyak Narsisus di negeri ini.

Salam,
Satrio Madigondo.-”

Setelah saya membaca tulisan di atas, saya juga sempat ngobrol-ngobrol dengan teman-teman yang sesama anak ITB dan mencoba menyimpulkan apa sih penyebab alumni ITB memiliki karakter seperti itu. Dari hasil diskusi, berikut adalah poin-poin yang berhasil saya dapatkan:
Ketika SMA, anak SMA sudah mendapat pandangan bahwa masuk ITB itu sulit. Yang bisa masuk ITB berarti hebat,
Ketika penyambutan awal, mahasiswa ITB sudah disambut dengan kata-kata seperti “Selamat datang siswa-siswa terbaik bangsa” ,
Lingkungan kuliah membentuk para mahasiswa untuk bersaing dengan orang-orang yang hebat dan berprestasi tinggi,
Dosen ada yang menanamkan kebanggaan tersendiri atau tanggung jawab yang lebih dengan menjadi mahasiswa ITB,
Tugas-tugas kuliah dan soal ujian dengan tingkat kesulitan yang super tinggi,
dan masih banyak poin lainnya.

Poin-poin tersebut secara sadar maupun tak sadar telah membangun mental dengan rasa percaya diri yang tinggi apalagi dengan segudang prestasi yang telah didapatkan oleh mahasiswa ITB secara historis. Namun yang kurang adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pikirannya dengan baik. Sesungguhnya kalau menurut saya, yang dibutuhkan anak ITB adalah communication skill dan empati yang harus dilatih lebih banyak lagi. Saya yakin poin-poin di atas juga dimiliki oleh universitas besar lainnya seperti UGM atau UI, tapi bedanya, mereka memiliki lingkungan yang membangun unsur humaniora dan sosial mereka dengan baik. Berbeda sekali dengan anak ITB yang lebih banyak aktifitas di kelas, laboratorium, atau di dalam kampus dibandingkan waktu mereka untuk bersosialisasi dengan teman-teman yang lain sehingga anak ITB kurang bisa menempatkan diri dengan baik di lingkungan yang heterogen.

Tapi kalau melihat pola kemahasiswaan yang semakin baik dari waktu ke waktu, saya rasa unsur sosial yang kurang dimiliki oleh anak ITB mulai ditambal perlahan-lahan oleh himpunan, unit, dan kabinet. Program-program kemahasiswaan dibuat selaras dengan keprofesian namun tetap menyentuh nilai sosial sehingga bisa menanamkan kemampuan empati, komunikasi, kepekaan, dan kerendahaan hati pada seluruh mahasiswa. Memang agak utopis dan tidak realistis, tapi semoga sentilan tulisan di atas bisa menyadarkan lulusan ITB untuk menjadi semakin pandai dalam bersikap, bertutur kata, dan menempatkan diri sehingga rasa percaya diri tersebut dibungkus juga dengan kemampuan komunikasi yang baik dan etika yang tepat.

” Punya percaya diri yang tinggi itu perlu, tapi jika tidak disertai dengan sikap yang baik, yang muncul adalah kesombongan” 

0 komentar:

Posting Komentar